Aku hanya bisa tersenyum menahan sakit yang begitu ranum, aku hanya bisa tertawa melihat pedih yang makin dewasa, aku hanya bisa terdiam melihat cermin berwajah muram. Sementara waktu terus berlalu. Kita masih duduk terdiam, berpandang mata membuka jendela. Terurai kata dari tiap mata yang mulai bercerita dengan bahasa diam. Dengan segala berani yang terkumpul dari nurani. Kumulai angkat bicara, perlahan dengan terbata. Bagaimana kabar orangtuamu? Apakah baik saja? Adikmu? Makin miripkah denganmu?
Sepuluh menit kau diam dengan pertanyaan yang telah terlempar.
Tetes air penggambar hati merintik di satu pipi. Biaskan isi hati menahan rindu
ribuan detik yang berubah menjadi perih. Dengan segala rasa yang tersisa
kudekap kau dengan erat dalam peluk. Yang harapkan hangatnya tenangkan jiwamu,
meski tak sedikitpun tenangkanku. Ragamu kini dekat bahkan tak satu inchipun
jarak diantara kita, namun iba, hatimu tak terlihat hanya dengan kedua mata.
Apakah hatimu jauh dariku, atau aku yang terlalu jauh dari hatimu. Tanyaku
dalam hati yang perlahan melepasmu dari kehangatan dan rasa nyaman.
Bibirmu terbuka, hendak berkata, namun tak kuasa. Kau mengeratkan
tangan, merapatkan jarak kenangan. Kau tak mau lepas dari dekapan yang dulu tak
sebersitpun kau harapkan. Penyesalan menaungi perasaan. Kau pinta maaf atas
penghukumanku yang terlanjur kau berikan. Seakan lupa apa yang telah kau
lakukan, kau tak tersinggung bahwa dahulu kau tak pedulikanku yang memohon,
merendahkan diri, meminta dikasihani.
Hingga datang hari... sakitnya cinta tanpa balas budi, hingga datang
hari... kau rasakan... pahitnya penghianatan, hingga datang hari... kau
terdiam, terduduk disudut malam. Menikmati secangkir teh beraroma madu
menambahkan sejumput gula. Menghabiskan waktu memperhatikan hujan yang turun
disudut gelap mata.
Menagih janjimu, yang selama ini kutunggu-tunggu.
Jam jam kelam menatap detik menyeruakkan penyesalan yang berputar
menitik. Datang menit-menit kau puas dengan runtuhnya hujan. Datang menit-menit
kau bosan dengan hancurnya perasaan. Datang menit-menit kau terkantuk atas
penatnya menunggu sebuah jawaban atas terlemparnya sebuah pertanyaan.
Bukan kisah kejammu pada masa silam yang menyakitiku, tapi tak
seujung kukupun ada aku di hari-hari jauh didepanmu. Kini cintaku berganti arah
tak lagi mendambamu. Kini cintaku mengarah, pada bunga lain yang indah, merah
merekah. Siap menyambutku dengan rasa yang begitu cerag. Tak sedikitpun gundah.
Tak sedikitpun ada gelisah.
Kini sudahlah, seperti banyak kata orang. Hujan kan reda, badai
pasti berlalu. Awan kan hilang, diterpa oleh angin lalu. Sekarang datang
seseorang dengan sejumput gula, yang memaniskan rasa. Mencairkan suasana.
Semoga, iya semoga.
Telah lama ku rasa jiwa yang resah, hati yang patah. Kau datang
membawa segenggam harapan, berjuta kemungkinan. Jiwaku tenang, hatiku sembuh
dengan senang.
Untukmu bunga yang baru kupetik, bunga yang teramat cantik.
percayalah, aku pun manusia yang lemah, jika suatu nanti aku berhenti di satu
titik. Genggamlah hati, ajaklah dia pergi. Berteduh pada kerindangan yang kau
miliki. Karena ada resah dalam diam yang tak mau terjamah. Ada pemendaman rasa
dalam kata yang tak terkatakan. Ada syukur, dalam tiap ketidaktahuan pada hati
lain yang terlarang untuk ikut tersungkur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar