• Breaking News

    Sebuah Karya, Dari Hasta, Dari Jiwa, Sebentuk Aksara.

    Selasa, 29 Desember 2015

    Histokrasi Lini Rasa



    Aku hanya bisa tersenyum menahan sakit yang begitu ranum, aku hanya  bisa tertawa melihat pedih yang makin dewasa, aku hanya bisa terdiam melihat cermin berwajah muram. Sementara waktu terus berlalu. Kita masih duduk terdiam, berpandang mata membuka jendela. Terurai kata dari tiap mata yang mulai bercerita dengan bahasa diam. Dengan segala berani yang terkumpul dari nurani. Kumulai angkat bicara, perlahan dengan terbata. Bagaimana kabar orangtuamu? Apakah baik saja? Adikmu? Makin miripkah denganmu?

    Sepuluh menit kau diam dengan pertanyaan yang telah terlempar. Tetes air penggambar hati merintik di satu pipi. Biaskan isi hati menahan rindu ribuan detik yang berubah menjadi perih. Dengan segala rasa yang tersisa kudekap kau dengan erat dalam peluk. Yang harapkan hangatnya tenangkan jiwamu, meski tak sedikitpun tenangkanku. Ragamu kini dekat bahkan tak satu inchipun jarak diantara kita, namun iba, hatimu tak terlihat hanya dengan kedua mata. Apakah hatimu jauh dariku, atau aku yang terlalu jauh dari hatimu. Tanyaku dalam hati yang perlahan melepasmu dari kehangatan dan rasa nyaman.

    Bibirmu terbuka, hendak berkata, namun tak kuasa. Kau mengeratkan tangan, merapatkan jarak kenangan. Kau tak mau lepas dari dekapan yang dulu tak sebersitpun kau harapkan. Penyesalan menaungi perasaan. Kau pinta maaf atas penghukumanku yang terlanjur kau berikan. Seakan lupa apa yang telah kau lakukan, kau tak tersinggung bahwa dahulu kau tak pedulikanku yang memohon, merendahkan diri, meminta dikasihani.

    Hingga datang hari... sakitnya cinta tanpa balas budi, hingga datang hari... kau rasakan... pahitnya penghianatan, hingga datang hari... kau terdiam, terduduk disudut malam. Menikmati secangkir teh beraroma madu menambahkan sejumput gula. Menghabiskan waktu memperhatikan hujan yang turun disudut gelap mata.

    Menagih janjimu, yang selama ini kutunggu-tunggu.

    Jam jam kelam menatap detik menyeruakkan penyesalan yang berputar menitik. Datang menit-menit kau puas dengan runtuhnya hujan. Datang menit-menit kau bosan dengan hancurnya perasaan. Datang menit-menit kau terkantuk atas penatnya menunggu sebuah jawaban atas terlemparnya sebuah pertanyaan.


    Bukan kisah kejammu pada masa silam yang menyakitiku, tapi tak seujung kukupun ada aku di hari-hari jauh didepanmu. Kini cintaku berganti arah tak lagi mendambamu. Kini cintaku mengarah, pada bunga lain yang indah, merah merekah. Siap menyambutku dengan rasa yang begitu cerag. Tak sedikitpun gundah. Tak sedikitpun ada gelisah.


    Kini sudahlah, seperti banyak kata orang. Hujan kan reda, badai pasti berlalu. Awan kan hilang, diterpa oleh angin lalu. Sekarang datang seseorang dengan sejumput gula, yang memaniskan rasa. Mencairkan suasana. Semoga, iya semoga.

    Telah lama ku rasa jiwa yang resah, hati yang patah. Kau datang membawa segenggam harapan, berjuta kemungkinan. Jiwaku tenang, hatiku sembuh dengan senang.

    Untukmu bunga yang baru kupetik, bunga yang teramat cantik. percayalah, aku pun manusia yang lemah, jika suatu nanti aku berhenti di satu titik. Genggamlah hati, ajaklah dia pergi. Berteduh pada kerindangan yang kau miliki. Karena ada resah dalam diam yang tak mau terjamah. Ada pemendaman rasa dalam kata yang tak terkatakan. Ada syukur, dalam tiap ketidaktahuan pada hati lain yang terlarang untuk ikut tersungkur.

    Tidak ada komentar:

    Fashion

    Beauty

    Travel