Pengertian Tauhid
Secara bahasa, tauhid berasal dari kata dasar yang maknanya sesuatu itu satu (esa). Sedangkan secara syar’i tauhid bermakna mengesakan Allah dalam ibadah, bersamaan dengan keyakinan keesaanNya dalam dzat, sifat dan perbuatan-perbuatanNya.
Pembagian Tauhid
Tauhid menurut ulama dibagi menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma wa sifat'
1.Tauhid Rububiyah
Artinya kita meyakini keesaan Allah dalam hal penciptaan, pemilik, pengatur, pemberi rizeki dan pemelihara alam semesta beserta isinya. Keyakinan seperti iini juga diyakini oleh kaum musyrikin Makkah sebagai firman Allah:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّوَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Artinya : “Katakanlah: siapa yang member rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan pengelihatan dan mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ? Maka mereka (musyrikin Makkah) menjawab : “Allah”. Maka katakanlah (hai Muhammad) “mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya”. (QS. Yunus:31). Ayat diatas senada dengan ayat dalam surat Al-Mu’minun: 84-89, Az-Zumar:38, Az-Zukhruf: 87 terkait orang-orang musyrik Makkah yang meyakini tauhid rububiyah, namun mereka tetap diklasifikasikan sebagai kaum musyrikin oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal itu karena hati manusia telah difitrahkan untuk mengakui rububiyyah Allah SWT, sehingga orang yang meyakininya belum menjadi ahli tauhid sebelum dia beriman kepada tauhid yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak dikatakan beriman dengan hanya meyakini tauhid rububiyah.
2. Tauhid Uluhiyah
Artinya kita meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah (diibadahi). Ibadah di sini adalah istilah yang meliputi segala apa yang Allah cintai dan ridhai baik berupa ucapan serta amalan-amalan yang lahir maupun yang batin.
Tauhid uluhiyyah merupakan implementasi dari kalimat tauhid “laa ilaaha illa-Allah”. Makna kalimat ini adalah tidak ada sesembahan yang hak untuk disembah melainkan Allah. Kalimat tauhid ini mengandung dua unsur yaitu unsur penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah serta menetapkan segala bentuk ibadah ditunjukan hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dari pengutusan para rasul seperti yang termasuk dalam firman Allah:
Artinya : “Dan tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian”. (QS. Al-Anbiya’: 25).
Dalam hal memahami makna “laa ilaaha illa-Allah” ada sebagian orang memaknainya dengan ( tidak ada hakim tertinggi melainkan Allah). Ini adalah makna yang sempit dan kurang tepat sebab dakwah Rasullullah ketika pertama kali diutus bukan masalah hakimiyah, namun masalah tauhid ibadah dan menjauhi kesyirikan sebagaimana firman Allah:
Artinya : “Sungguh kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat agar mereka (memerintahkan) umatnya menyembah Allah dan menjauhi Thaghut”². (QS. An-Nahl:36).
Tauhid uluhiyyah adalah misi dakwah semua Rasul. Pengingkaran terhadap tauhid inilah yang menjerumuskan umat-umat terdahulu ke dalam jurang kehancuran. Tauhid ini adalah pembuka dan penutup agama. Ia adalah pembeda antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, antara penduduk surga dan penghuni neraka. Tauhid rububiyyah termasuk konsekuensi dari tauhid uluhiyyah, karena orang-orang musyrik tidak menyembah tuhan yang satu. Akan tetapi, mereka menyembah bermacam-macam tuhan dengan anggapan bahwa tuhan-tuhan tersebut lebih mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal mereka mengakui bahwa tuhan-tuhan itu tidak mendatangkan mudharat dan manfaat. Karena itu, Allah tidak menganggap mereka sebagai orang-orang mukmin, kendati mereka mengakui tauhid uluhiyyah. Mereka tetap kafir, sebab mereka masih menyekutukan Allah dan selain-Nya dalam beribadah.
3. Makna Tauhid Asma wa Sifat (meng-esakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya).
ialah meyakini secara mantab bahwa Allah menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya. Caranya adalah dengan menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah dengan tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau sebagaian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk. Dari definisi diatas jelaslah bahwa tauhid asma wa sifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang meng-esakan Allah dalam hal nama sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah:³
a.meyakini bahwa Allah SWT maha suci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segala kekurangan.
b.Mengimani seluruh nama dan sifat Allah SWT yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau mengabaikannya.
c.Menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah (kondisi) sifat-sifat itu.
Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan mahluk dalam sifat-sifat-Nya, ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Artinya : “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya”. (QS. Al-Ikhlash: 4) Al-Qurthubi, saat menafsirkan firman Allah, “Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apa pun,”mengatakan, “Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah SWT, dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupai dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dengan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafazhnya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak Berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Termasuk dalam asas pertama ini ialah menyucikan Allah SWT dari segala yang bertentangan dengan sifat yang disandangkan oleh Rasullulah Saw. Jadi mengesakan AllahcSWT dalam hal sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah SWT tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’ (pemberi syafa’at), kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainya. Sedangkan asas kedua, mewajibkan untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dal al-Qur’an dan As-Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu, bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah SWT kecuali sejauh ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Sebab Allah SWT maha tau tentang Dirinya sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Ia berfirman :
Artinya : “Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah ?”. (QS. Al-Baqarah : 140) Nah, bila Allah SWT yang lebih mengetaahui tentang Dirinya dan para Rasul-Nya adalah orang-orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwahyukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan Rasul-Nya. Sementara asas ketiga, menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai mankala mengetahui kaifiyyah Dzat. Padahal Dzat Allah SWT tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. Karena itu, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa’ (cara Allah SWT bersemayam), mereka menjawab’ “Istiwa’ itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimani istiwa’ adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Jika ada seseorang bertanya kepada kita, ”Bagaimana cara Allah SWT turun ke langit dunia ?” Maka kita tanyakan kepadanya,”Bagaimana dia ?” jika ia mengatakan, “Saya tidak tau kaifiyyah Dia”. Maka kita jawab “ Makanya kita tidak tau kaifiyyah turunya Allah. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifsti itu. Karena, sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang disifati. Maka, bagaimana Anda menuntut istiwa’, padahal Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah Dzat-Nya. Jika Anda mengakui bahwa Allah SWT adalah wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat, berbicara dan turunya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan dengan mahluk-Nya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhid asmawa sifat ini dapat rusak dengan beberapa hal berikut :
1.Tasybih
yakni menyerupakn sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
makhluk. Seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih
bin Maryam dengan Allah SWT, orang Yahuda menyerupakan ‘Uzair dengan Allah,
orang-orang musyrik menyerupakan patung-patung mereka dengan Allah, dan
beberapa kelompok yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk , tangan
Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk, dan
lain sebagainya.
2.Tahrif
yaitu mengubah atau mengganti. Artinya mengubah
lafazh-lafazh nama Allah SWT dengan menambah atau mengurangi atau mengubah
artinya, yang oleh para ahli bid’ah diklaim sebagai takwil, yaitu memahami satu
lafazh dengan makna yang rusak dan tidak sejalan dengan makna yang digunakan
dalam bahasa Arab. Seperti pengubahan kata dalam firman Allah SWT
“Wakallamallahu musa taklima” menjadi “Wakallamallaha”. Dengan demikian, mereka
bermaksud menafikan sifat kalam (berbicara) dari Allah SWT.
3.Ta’thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi).
Yakni menampik sifat Allah dan menyagkal keberadaannya pada
Dzat Allah SWT, semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara membantah
nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau menampik
sesuatu sebagai ciptaan Allah SWT, seperti orang yang menyatakan bahwa
makhluk-makhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah
menciptakan dan membuatnya).
4.Takyif (menentukan kondisi dan menetapkan esensinya).
Metode dalam memahami nama dan sifat Allah SWT yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif,
ta’thil dan takyif ini merupakan mazhab salaf. Asy-Syaikani mengatakan,
“Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kalangan sahabat, tabi’in, dan
tabi’ut-tabi’in, adalah memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah SWT
sesuai dengan zhahirnya tanpa melakukan tahrif, ta’wil yang dipaksakan, dan
tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak ta’wil. Dan jika mereka
ditanya tentang sifat-sifat Allah SWT, mereka membacakan dalil lalu menahan
diri dari mengatakan pendapat itu dan ini seraya mengatakan bahwa mereka tidak
mengetahui lebih dari itu.
Ulama salaf tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak mereka ketahui dan apa yang tidak yang tidak Allah SWT izinkan untuk meraka lampaui. Jika ada seorang penanya menginginkan penjelasan melebihi dari zahir, maka mereka segera mencegahnya dari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan melarangnya dari hal yang tidak tidak diajarkan Rasulullah SAW, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in.
Ulama salaf tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak mereka ketahui dan apa yang tidak yang tidak Allah SWT izinkan untuk meraka lampaui. Jika ada seorang penanya menginginkan penjelasan melebihi dari zahir, maka mereka segera mencegahnya dari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan melarangnya dari hal yang tidak tidak diajarkan Rasulullah SAW, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar